8 November 2025 - 20:34
Fatimiyah: Musibah yang Membuka Luka Besar Sejarah Islam

Asyura memang dramatis, menggetarkan, dan selalu relevan. Namun membacanya tanpa Fatimiyah seperti membaca bab terakhir buku, lalu mengira kita telah memahami seluruh kisah. Kita sering menangisi pembantaian Husain, tapi jarang bertanya: kenapa rezim seperti itu bisa lahir?

Oleh: Ismail Amin

Di tengah lanskap intelektual dan sejarah keagamaan kita, peringatan Asyura selalu menjadi sorotan: momentum heroik, tragedi kemanusiaan, sekaligus puncak pergulatan moral yang menggugah seluruh umat. Namun ada satu peristiwa yang kerap kita lewatkan, padahal justru menjadi akar dari seluruh rangkaian tragedi itu: kesyahidan Sayidah Fatimah az-Zahra.

Pertanyaannya sederhana tapi mengguncang: Mengapa umat begitu memperingatj Asyura, tapi tidak melihat luka pertama yang melahirkan Karbala? Jawaban itu tidak hanya milik teologi, tetapi juga sejarah politik dan etika umat. Imam Khomeini pernah berkata, tidak ada yang bisa benar-benar memahami Asyura sampai dia lebih dulu memahami Fatimiyah.  

Akar Luka Itu Bernama Fatimiyah

Sayidah Fatimah bukan sekadar putri Nabi. Ia adalah tulang punggung moral, saksi sejarah, dan penjaga garis kebenaran setelah wafatnya Rasulullah. Dalam banyak riwayat, Nabi sendiri bersabda: “Fatimah bagian dari diriku. Barang siapa menyakitinya, menyakitiku.”

Pernyataan yang telak. Jika luka terhadap Rasul tidak terbayangkan, mengapa kita memandang biasa tragedi yang menimpa putrinya?

Bagi banyak ulama Syiah, Fatimiyah bukan sekadar peringatan duka; ia adalah alarm pertama tentang penyimpangan kekuasaan yang kelak meletus di Karbala. Jika akar tidak dirusak, batang tidak akan tumbang dan buah tidak akan busuk. Dengan logika itu, tanpa merampas hak-hak Fatimah dan keluarganya, tragedi pembantaian Imam Husain takkan pernah terjadi.

Ketika Sejarah Bergeser Sejak Hari Pertama

Tragedi pasca wafat Nabi sering kali diperlunak dalam narasi umum, seolah hanya perbedaan politik biasa. Padahal, sumber-sumber klasik berbagai mazhab mencatat tekanan, intimidasi, bahkan serangan fisik terhadap rumah Fatimah dan Ali. Di titik inilah sejarah Islam mengalami deviasi pertama.

Peristiwa Fadak yang selama ini dianggap sekadar sengketa tanah, sebenarnya merupakan simbol perampasan legitimasi politik dan moral keluarga Nabi. Dari situlah roda kekuasaan berputar ke arah yang menjauh dari prinsip profetik: keadilan, amanah, dan keberpihakan kepada kaum tertindas.

Ketika fondasi itu retak, generasi berikutnya hidup di atas bentangan sejarah yang sudah menyimpang. Dari sinilah jalan menuju Karbala terbuka.

Fatimah: Simbol Etika yang Dilupakan

Dalam konteks kontemporer, nama Fatimah seharusnya hidup lebih dari sekadar ritual. Ia adalah pengingat bahwa: kekuasaan bisa menyimpang sejak hari pertama, minoritas moral bisa disingkirkan oleh mayoritas politik, suara perempuan dapat menjadi saksi paling jujur dari tirani, dan diamnya umat sering kali menjadi pemicu kejatuhan kolektif.

Khutbah Fadakiyah Fatimah adalah salah satu manifesto etika paling tajam dalam sejarah Islam. Kritiknya terhadap kekuasaan bukan karena dendam pribadi, tetapi karena melihat arah sejarah yang melenceng dari nilai-nilai kenabian.

Dalam bahasa hari ini, seruannya adalah: kembalilah pada prinsip, bukan pada kepentingan.

Asyura adalah Puncak; Fatimiyah adalah Awal

Asyura memang dramatis, menggetarkan, dan selalu relevan. Namun membacanya tanpa Fatimiyah seperti membaca bab terakhir buku, lalu mengira kita telah memahami seluruh kisah. Kita sering menangisi pembantaian Husain, tapi jarang bertanya: kenapa rezim seperti itu bisa lahir?

Jawabannya tersimpan di rumah kecil itu, di pintu yang dibakar, di hak yang dirampas, dan di suara seorang perempuan yang ditenggelamkan oleh riuhnya perebutan kekuasaan.

Fatimiyah adalah peringatan tentang bahaya ketika agama menjadi alat politik, bukan pedoman moral. Dan Asyura adalah konsekuensi pahit dari jauh­nya umat dari kesadaran itu.

Menutup Luka dengan Kesadaran

Fatimiyah bukan seruan sektarian. Ia adalah pengingat universal bahwa tragedi besar selalu bermula dari ketidakadilan yang dibiarkan. Jika kita menangisi Karbala, kita seyogianya merenungi Fatimiyah.

Sebab, dari pintu rumah Fatimah yang dibakar, kita belajar bahwa sejarah membesar dari luka yang kecil, umat bisa tersesat ketika kebenaran dibungkam, dan keadilan hanya tumbuh jika kita berani mengingat awal dari sebuah tragedi. Mengingat tragedi Fatimiyah bukan untuk mengorek luka lama, bukan untuk merawat dendam tapi untuk membangun kesadaran umat, bahwa penyimpangan sekecil apapun harusnya sejak awal jangan dibiarkan dan dianggap sepele. 

Fatimah adalah simbol tentang bagaimana kebenaran bisa dipinggirkan, bagaimana kekuasaan bisa menyingkirkan akhlak, dan bagaimana sejarah bisa menyimpang jika suara moral sengaja dibungkam. Karena itu, Fatimiyah bukan sekadar mengenang kesyahidan seorang perempuan suci, ia adalah ajakan untuk memperbaiki cara kita membaca sejarah, menata ulang etika publik, dan memastikan bahwa tragedi tidak berulang karena kita enggan mengakui akar persoalannya.

Peringatan ini mengajak umat Islam, termasuk kita di Indonesia, untuk lebih peka terhadap ketidakadilan sejak dini, lebih berani menyuarakan kebenaran meski sendirian, dan lebih jujur melihat bahwa setiap penyimpangan kecil hari ini bisa menjadi Karbala di masa depan. Fatimiyah adalah cermin yang memaksa kita bertanya: sudahkah kita menjaga amanah Nabi seperti Fatimah menjaganya?

Your Comment

You are replying to: .
captcha